AYAT-AYAT BERKAH BAGI PENERIMA DAKWAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Tafsir
DISUSUN OLEH :
1.
SITI INDARWATI (B03211031)
Pembimbing:
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BKI/C1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
TAFSIR
AYAT-AYAT BERKAH BAGI PENERIMA DAKWAH
A.
QS.
Al-A’raf[7]: 96
öqs9ur
¨br&
@÷dr& #tà)ø9$#
(#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur
$uZóstGxÿs9
NÍkön=tã
;M»x.tt/
z`ÏiB
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur
(#qç/¤x.
Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2
tbqç7Å¡õ3t
ÇÒÏÈ
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( Al’Araf 96).
1.
Tafsir Ibnu Kasir
juz 9 : hal 10-12
Yaitu hati
mereka beriman kepada apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, membenarkannya,
mengikutinya, dan bertakwa dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan
meninggalkan semua yang di haramkan.
öqs9ur ¨br& @÷dr&
#tà)ø9$#
(#qãZtB#uä
(#öqs)¨?$#ur
Maksudnya hujan dari langit dan tetumbuhan dari bumi.
`Å3»s9ur
(#qç/¤x.
Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2
tbqç7Å¡õ3t
ÇÒÏÈ
Artinya, tetapi
mereka mendustakan rasul-rasulNya, maka kami siksa mereka dengan menimpakan kebinasaan
atas mereka karena perbuatan-perbuatan dosa dan hal-hal haram yang mereka
kerjakan.
2.
Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an juz 9 :hal 374-376
Ini adalah sisi
lain dari sunnah Allah yang berlaku. Seandainya penduduk suatu negeri
benar-benar beriman untuk menggantikan sikap mendustakan ajaran-ajaran Allah,
dan bertaqwa untuk menggantikan sikap bandel dan tidak peduli, niscahya Allah
akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi. Begitulah
berkah-berkah dari langit dan bumi dibukakan tanpa perhitungan, dari atas
mereka dan dari bawah kaki mereka. Pengungkapan Al-Qur’an dengan redaksi yang umum
dan kompleks memberikan bayang-bayang pelimpahan yang deras, yang tidak
terbatas pada apa yang dibayangkan manusia mengenai rezeki dari makanan.
Di depan nash
ini ada nash sebelumnya kita berhadapan dengan sebuah hakikat dari sekian
banyak hakikat akidah dan hakikat kehidupan manusia dan alam semesta. Kita berhadapan
dengan salah satu unsur dari unsur-unsur yang memengaruhi sejarah manusia, yang
dilupakan oleh mazhab-mazhab positivme, diabaikan, bahkan diingkarinya sama
sekali.
Akidah imaniah
kepada Allah dan taqwa kepadaNya bukanlah masalah yang terlepas dari realitas
kehidupan dan terlepas dari garis sejarah manusia. Iman kepada Allah dan taqwa
kepada-Nya merupakan dua faktor yang menjadikan yang bersangkutan layak
mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi, sebagaimana dijanjikan oleh
Allah. Siapakah gerangan yang lebih menepati janjinya daripada Allah?
Kita menerima
janji ini dengan hati orang yang beriman. Maka, pertama-tama kita
membenarkannya, tanpa menanyakan alasan dan sebabnya, dan tanpa meragukan
sedikitpun realisasinya. Kita beriman kepada Allah, sedangkan Dia itu ghoib.
Kita membenarkan janjiNya sebagai konsekuensi iman ini.
Kemudian kita
perhatikan janji Allah itu dengan perenungan yang dalam, sebagaimana yang
diperintahkan oeh iman kita, maka tiba-tiba kita dapati alasan dan sebabnya.
Iman kepada
Allah adalah petunjuk atas hidupnya fitrah dan sehatnya perangkat-perangkatnya,
petunjuk atas kebenaran pemahaman insan dan hidupnya unsure-unsur bangunan
kemanusiaan itu, dan menunjukkan keluasan perasaan terhadap hakikat-hakikat
keberadaan. Semua ini menjadikan mereka layak memdapatkan keberuntungan dalam
kehidupan nyata.
Selain itu,
iman kepada Allah merupakan kekuatan pendorong hebat yang menghimpun semua sisi
keberadaan manusia, mengarahkannya kepada satu arah, dan membebaskanya menyerap
kekuatan dari kekuatan Allah. Juga bekerja dan beramal untuk merealisasikan
kehendakNya untuk mengelola dan memakmurkan bumi, untuk menolak kerusakan dan
fitnah, dan untuk meningkatkan serta mengembangkan kehidupan. Semua ini juga
merupakan faktor-faktor yang menjadikan mereka layak mendapatkan keberuntungan
di dalam kehidupan nyata ini.
Iman kepada
Allah membebaskan manusia dari penyembahan kepada hawa nafsu dan sesama hamba Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa manusia merdeka yang hanya menyembah Allah saja,
lebih mampu mengelola bumi dengan pengolahan yang benar dan maju, daripada
manusia yang menghambakan diri kepada hawa nafsu dan menyembah kepada
sesamanya.
Takwa kepada
Allah merupakan kesadaran mendalam yang melindungi manusia dari semua dorongan,
kengawuran, kebohongan, dan keteperdayaan dalam bergerak dan berkehidupan. Juga
mangarahkan usaha manusia untuk berhati-hati dan penuh perhitungan, sehingga
tidak melanggar, tidak ngawur, dan tidak melampaui batas-batas aktivitas yang
layak dan shaleh.
Ketika
kehidupan berjalan secara sinergis antara unsur-unsur pendorongnya dan
pengekangnya, dengan bekerja di bumi dan memandang ke langit, terbebas dari
hawa nafsu dan kezaliman manusia, menghambakan diri dan tunduk kepada Allah
berjalan dengan baik dan menuju kearah yang menjadikannya berhak mendapatkan
pertolongan Allah sesudah mendapatkan keridhoan-Nya, maka sudah tentu kehidupan
model ini akan diliputi dengan berkah, dipenuhi dengan kebaikan, dan dinaungi
dengan kebahagiaan dan keberuntungan. Masalahnya, dalam sisi ini, adalah
masalah realitas yang tampak di samping kelemahlembutan Allah yang tidak
terlihat. Yaitu, realitas yang memiliki illat dan sebab-sebab lahiriah, di
samping qadar Allah yang ghoib dan dijanjikan.
Berkah-berkah
yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa secara tegas
dan meyakinkan itu, bermacam-macam jenis dan ragamnya. Juga tidak
diperinci dan tidak ditentukan
batas-batasnya oleh nash itu. Isyarat yang diberikan nash Al-Qur’an itu
menggambarkan limpahan yang turun dari semua tempat, bersumber dari semua
lokasi, tanpa batas, tanpa perincian, dan tanpa penjelasan. Maka, ia adalah
berkah dengan segala macam dan warnanya, dengan segala gambaran dan bentuknya.
Ia adalah apa yang terbiasa pada manisia dan apa yang terbayangkan olehya, dan
apa yang tidak terdapat di dalam realitas dan dalam khayalan.
Orang-orang
yang menggambarkan iman dan taqwa kepada Allah sebagai masalah ta’aabudiyyah an
sich yang tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan manusia dimuka bumi,
maka mereka itu belum mengerti iman dan belum mengerti kehidupan. Alangkah
tepatnya kalau mereka melihat hubungan
yang demikian erat ini dan disaksikan oleh Allah SWT. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi. Semua ini terlihat nyata dengan sebab-sebabnya yang dapat diketahui
manusia.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”.(al-A’raf: 96)
Kadang-kadang
sebagian orang melihat bangsa-bangsa yang mengaku sebagai bangsa muslim hidup
dalam kesempitan rezeki, kelaparan, dan kesengsaraan. Sementara orang-orang
yang tidak beriman dan tidak bertakwa hidup dengan mendapatkan rezeki yang
melimpah, sehat dan terpenuhi semua keinginannya. Maka, mereka pun bertanya-tanya,
“kalau begitu, di manakah sunnah Allah yang tidak akan pernah berganti itu?”
Akan tetapi, apa yang terlihat itu
hanya kesalahpandangan terhadap kondisi-kondisi lahiriah. Mereka yang mengaku
sebagai orang muslim itu bukan orang-orang yang benar-benar beriman dan
bertakwa. Karena, mereka tidak memurnikan ubudiahnya kepada Allah saja, dan
tidak mengaplikasikan syahadad bahwa tiada illah kecuali Allah di dalam
kehidupan nyata mereka. Mereka telah menyerahkan leher mereka kepada
orang-orang yang sama dengan mereka, yang mengangkat dirinya sebagai
tuhan-tuhan atas mereka dan membuat syariat untuk mereka baik yang berupa
undang-undang, tata nilai, maupun tradisi-tradisi.
Maka,
mereka itu bukanlah orang mukmin yang sebenarnya. Karena orang mukmin yang
sebenarnya itu tidak akan membiarkan seseorang dari hamba Allah ini menjadikan
dirinya sebagai Tuhan baginya, tidak akan menjadikan seorang hamba sebagai Tuhan
yang mengatur kehidupannya dengan syariat dan perintahnya. Pada hari para
pendahulu orang-orang yang mengaku beriman itu benar-benar muslim, maka dunia
tunduk kepada mereka, berkah-berkah dari langit dan bumi melimpah ruah atas
mereka.
Adapun
orang-orang yang dibukakan atas mereka pintu-pintu rezeki, maka ini merupakan
sunnah.
“Kemudian
Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka
bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun
telah merasai penderitaan dan kesenangan", maka Kami timpakan siksaan atas
mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya”.(ala-A’raaf:
95)
Ini
adalah ujian yang berupa kenikmatan dan kesenangan sebagaimana sudah disebutkan
di muka, dan ini lebih berbahaya daripada ujian yang berupa kesulitan.
Perbedaan antara hal ini dan barakah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang
yang benar-benar beriman dan bertakwa ialah, bahwa berkah itu kadang-kadang
menyertai sesuatu yang jumlahnya sedikit, tetapi memberikan manfaat yang banyak
diiringi dengan kebaikan, keamanan, kerelaan, dan kelapangan hati. Berapa
banyak bangsa yang kaya dan kuat, tetapi hidup dalam penderitaan, tidak aman,
bercerai-berai, penuh kegoncangan, daan menungu kehancuran. Maka, kekuatan
mereka adalah kekuatan tanpa keamanan, hiburan tanpa kerelaan, dan kemelimpahan
tanpa kebaikan. Ini adalah keindahan sementara yang sedang menunggu kehancuran,
dan ini adalah ujian yang berakibat dengan bencana.
Berkah
yang diperoleh bersama iman dan takwa, adalah berkah yang terdapat pada segala
sesuatu. Berkah yang terdapat dalam jiwa, dalam perasaan, dan dalam kehidupan
yang baik. Juga berkah yang mengembangkan kehidupan dan meninggikan mutunya
pada setiap waktu. Jadi, bukan semata-mata melimpahnya kekayaan, tapi dibarengi
dengan penderitaan, kesengsaraan, dan kerusakan.
3.
Tafsir
al-Maraghi juz 9 :hal 21-25
4.
öqs9ur
¨br&
@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur
Maksudnya,
bahwa dibukanya semua pintu ksenangan itu adalah sebagai cobaan dan ujian bagi
mereka, yang akibatnya diantara mereka ada yang lupa daratan dan semakin jahat,
bukannya bersyukur pada emberi nikmat. Sehingga kesenangan itu berubah menjadi
bencana, bukan nikmat, dan menjadi fitnah, bukan berkah. Lain halnya
orang-orang yang beriman. Bagi mereka, dibukakannya pintu-pintu kesenangan oleh
Allah menjadikan mereka bersyukur kepadaNya dan berterima kasih atas anugrahNya,
lalu digunakanlah untuk hal-hal yang baik, bukan hal-hal yang buruk, dan untuk
kepentingan pembangunan, bukan kerusakan. Oleh karenanya mereka mendapat
balasan berupa semakin bertambahnya kenikmatan di dunia dan pahala yang baik
kelak di akhirat.
`Å3»s9ur
(#qç/¤x.
Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$2
tbqç7Å¡õ3t
ÇÒÏÈ
Akan tetapi, penduduk
kota-kota itu tidak beriman dan tidak bertakwa, bahkan mendustakan. Maka, kami
hukum mereka atas perbuatan yang mereka lakukan, yang berupa kemusyrikan dan
kemaksiatan yang merusak stabilitas masyarakat manusia.
Hukuman keras itu,
sebenarnya merupakan dampak yang lazim dari perbuatan maksiat yang mereka
lakukan, berdasarkan sunnah-sunnah yang telah Allah terapkan pada alam semesta,
dan merupakan pelajaran bagi orang lain, semisal mereka andaikan mau berpikir
tentang hukum-hukum umum dari ala mini, yang takkan berubah dan takkan
berganti.
5.
Tafsir
al-Azhar juz 9 :hal 17-19
“Dan
jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.(pangkal ayat 96)
keimanan dan takwa kepada Allah
membukakan pintu rezeki. Sebab kalau orang telah beriman dan bertakwa,
fikirannya sendiri terbuka, ilhampun datang. Sebab iman dan takwa itu
menimbulkan silaturahmi sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerjasama yang
baik sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Dengan demikian turunlah berkat dari
langit dan menyemburkan berkat dari bumi.
Berkat itu dua macamnya, yaitu yang hakiki dan yang ma’nawi. Yang hakiki
ialah yang berupa hujan kesuburan bumi, maka teraturlah tumbuhan dan keluarlah
segala hasil bumi. Atau terbukalah fikiran manusia menggali harta dan kekayaan
yang terpendam dalam bumi itu, seumpama besi, emas, perak, dan logam lain, atau
mengatur perkebunan yang luas, menyuburkan ekonomi seumpama kopra, getah dan
benang emas, palm, dan lain-lain. Yang ma’nawi ialah timbulnya fiiran-fikiran yang
baru dan petunjuk dari Allah kepada orang-orang
yang berjuang dengan ikhlas. Dan dengan iman dan takwa,pusaka nenek moyang
bisa dipertahankan. “Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka dengan sebab apa yang telah mereka usahakan”.
Artinya, berkat dan nikmat itu bisa dicabut Allah kembali karena iman
dan takwa tidak berpengaruh lagi atas jiwa penduduk negeri itu. Meskipun hujan
turun juga menurut musimnya, bukan lagi kesuburan yang akan dibawanya,
melainkan banjir yang menghalau melicin tandaskan segala apa yang telah
ditanam. Misalnya karena tiap-tiap orang, karena tidak iman dan takwa, berebut
lekas kaya, lalu mereka terbagi hutan sekeliling mereka, sehingga terjadi
erosi.
Hanyut bunga
tanah, kersang tanah, bila hujan terjadi banjir, dimusim panas sumur-sumur
kering.
Inilah yang
pernah digambarkan dengan jelas di dalam al Qur’an Surat Saba’(Surat 34),
tentang penduduk negeri Saba’ yang makmur. “Baldatun thayyibatun wa rabbun
ghofuur.” Negeri yang subur dan Allah Yang Pengampun. Kesuburan tanah
mereka yang bertali dan berkelidan
dengan ketaatan mereka kepada Allah. Sehingga mereka dapat mengatur perairan
dan waduk(bendungan) yang teratur. Tetapi setelah anak cucu mendapati bekas
usaha orang tua, hidup dengan senang dan mewah di atas tanah yang subur,
semuanya malas memelihara baik-baik pusaka itu, sehingga bendungan jadi rusak
dan kebun-kebun yang subur menjadi bertambah susut penghasilannya. Lalu mereka
berganti jadi orang perantau. Tetapi perantauan kian lama kian jauh, sehingga
kampung pangkalan jadi tinggal, dan akhirnya negeri Saba’ musnah, penduduknya
habis pindah, porak poranda.
Kalau iman dan
takwa tidak ada lagi, silaturahmi sesama manusia pun padam, bahkan berganti
dengan perebutan kekayaan untuk diri sendiri, biar orang lain teraniaya.
Akhirnya, meskipun mereka dapat menggali
kekayaan bumi, mereka pergunakanlah kekayaan itu buat menindas yang lemah.
Sebagaimana di zaman sekarang orang menggali pertambangan manggan dan uranium,
untuk bahan membuat atom atau senjata nuklir yang lainnya.
Di dalam ayat
ini kita menampak pedoman hidup jelas,
bahwasanya hidup beriman dan bertakwa semata-mata karena hendak mengejar masuk syurga di akhirat, bahkan
terlebih dahulu menu berkat yang belimpah ruah dalam dunia ini. Ayat ini
menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi kait kekayaan bumi yang telah dapat dibongkar
manusia, tidaklah dia akan membawa berkat kalau iman dan takwa tidak ada dalam
jiwa. Maka segala bencana yang menimpa suatu umat, bukanlah dari salah orang
lain, melainkan dari sebab usaha yang salah. Timbul kasalahan karena iman dan
takwa tidak ada lagi.
6.
Tafsir
al Mishbah juz 9 :hal 174-178
Demikianlah
siksa yang dijatuhkan Allah atas mereka yang durhaka, padahal jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri yang kami kisahkan keadaan mereka beriman kepada
rasul-rasul mereka ketika para rasul itu atau ajarannya datang kepada mereka dan
bertakwa, yakni melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, pastilah
Kami yakni Allah melalui makhluk-Nya melimpahkan kepada mereka berkah-berkah
yakni aneka kebajikan yang sangat banyak dari langit dan bumi yang menghasilkan
kesejahteraan lahir dan batin, tetapi mereka mendustakan para rasul dan
ayat-ayat Kami maka Kami siksa mereka disebabkan apa yakni disebabkan
kedurhakaan yang mereka terus-menerus lakukan sejalan dengan kebejatan jiwa
mereka.
Kata (لو) lau/jikalau digunakan dalam arti
perandaian terhadap sesuatu yang mustahil/tidak mungkin lagi akan
terjadi. Ini berbeda dengan kata idza/apabila yang digunakan untuk
menggambarkan perandaiaan bagi sesuatu yang diduga keras akan terjadi.
Penggunaan kata lau disini menunjukkan bahwa melimpahnya keberkatan untuk
penduduk negeri-negeri yang durhaka itu adalah sesuatu yang mustahil. Kendati
demikian, ayat ini dapat juga dipahami sebagai mengisyaratkan salah satu sunnah
Allah yang lain yaitu bahwa Allah akan melimpahkan aneka anugrah dan keberkatan
kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa. Sejarah Islam menunjukkan
bahwa penduduk Mekah yang durhaka kepada Allah SWT. Mengalami masa-masa sulit
bahkan paceklik selama tujuh tahun, sedang penduduk Madinah hidup aman dan
sejahtera di bawah bimbingan Rasul SAW.
Keimanan
menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis, dan ini mengantarnya hidup
tenang dan dapat berkonsentrasi dalam usahanya. Itu sebabnya, keimanan kepada
Allah selalu ditekankan dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rezeki.
Sekian banyak ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah penjamin rezeki: “Tidak
ada satu binatang melatapun di dunia ini kecuali Allah yang menjamin
rezekiNya”(QS. Hud[11]: 6). Lebih jauh di tegas-Nya: “Berapa banyak binatang
yang tidak dapat mengurus rezeki-Nya, Allah yang memberikan rezek, juga
kepadam”(QS. Al-Ankabut[29]: 60).
Ini bukan
anjuran menanti kedatangan rezeki tanpa usaha, tetapi tujuannya adalah
menanamkan rasa percaya diri, mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin
bila rezeki diharapkan belum kunjung tiba.
Ketaqwaan
penduduk satu negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam kebajikan dan tolong
menolong, dalam mengelola bumi serta menikmatinya bersama. Semakin kukuh
kerjasama dan semakin tenang jiwa, maka semakin banyak pula yang dapat diraih
dari alam raya ini.
Sebaliknya
mempersekutukan Tuhan menjadikan perhatian tertuju kepada sekian sumber yang
berbeda-beda., dan ini mengakibatkan jiwa tidak tenang, sehingga tidak dapat
berkonsentrasi dalam usaha. Disisi lain, kedurhakaan mengakibatkan kekacauan
dan permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada upaya
meraih kesejahteraan, tetapi mengarah kepada upaya membentengi diri dari
ancaman sesama. Demikian Allah melimpahkan keberkatan bagi yang percaya dan
bertaqwa dan menghalanginya bagi yang kafir dan durhaka.
Sayyid Quthub
berkomentar tentang ayat ini dan ayat sebelumnya bahwa di hadapan teks itu kita
berhenti menghadapi salah satu faktor dari sekian faktor yang mempengaruhi
sejarah umat manusia, kendati diabaikan oleh filsafat manusia bahkan diingkari
secara total olehnya.
Keimanan kepada
Allah tulis Sayyid Quthub lebih jauh adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan
berfungsinya dengan baik alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran pengetahuan
manusia, serta dinamisme organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan dalam
bidang rasa menyangkut hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk
meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah adalah pendorong
yang sangat kukuh; ia menghimpun semua potensi manusia dan mengarahkannya ke
satu tujuan sambil memberinya kebebasan untuk meraih dukungan dari kekuatan
Allah, dan melakukan aktivitas sesuai dengan kehendakNya. Yaitu membangun dunia
ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan penganiayaan, serta meningkatkan
kualitas hidup dan mengembangkannya. Semua ini juga adalah faktor-faktor utama
untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah membebaskan
manusia dari ketundukan kepada Allah semata, lebih mampu untuk menjadi khalifah
di bumi kekhalifaan yang lurus, bersinambung dan terus meningkat dibanding
dengan mereka yang menjadi hamba-hamba hawa nafsu atau hamba-hamba sesama
manusia. Adapun ketaqwaan kepada Allah, maka ia adalah kesadaran yang
bertanggung jawab yang memelihara manusia dari kecerobohan, ketidak adilan dan
keangkuhan. Ia merupakan pendorong gerak dan pendorong hidup. Ia yang
mengarahkan kegiatan manusia dengan hati-hati sehingga tidak bertindak
sewenang-wenang, tidak ceroboh dan tidak melampaui batas kegiatan yang
bermanfaat.
Thabathaba’i
ketika menafsirkan ayat ini antara lain menulis bahwa alam raya dengan segala
bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain bagaikan
satu badan dalam keterkaitannya, pada rasa sakit atau sehatnya, juga dalam
pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya. Semua saling mempengaruhi, dan semua
pada akhirnya sebagaimana dijelaskan al-Qur’an bertumpu dan kembali kepada
Allah SWT. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi dengan baik atau
menyimpang dari jalan yang seharusnya ia tempuh, maka akan Nampak dampak
negatifnya pada bagian yang lain dan ini ada gilirannya akan mempengaruhi seluruh
bagian. Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan hukum alam yang
ditetapkan Allah SWT, yang tidak mengalami perubahan; termasuk terhadap manusia
dan manusiapun tidak mampu mengelak darinya. Masyarakat manusia yang menyimpang
dari jalan lurus yang ditetapkan Allah bagi kebahagiaannya penyimpangannya
dalam batas tertentu itu menjadikan keadaan sekelilingnya termasuk hukum-hukum
sebab akibat yang berkaitan dengan alam raya dan yang mempengaruhi manusia ikut
terganggu dan ini pada gilirannya menimbulkan dampak negatif. Bila itu terjadi,
maka akan lahir krisis dalam kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam
interaksi sosial mereka, seperti krisis moral, ketiadaan kasih sayang,
kekejaman bahkan lebih dari itu akan bertumpuk musibah dan bencana alam,
seperti “keengganan langit menurunkan hujan atau bumi menumbuhkan tumbuhan, “,
banjir dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya. Semua itu adalah
tanda-tanda yang diberikan Allah swt. Untuk memperingatkan manusia agar mereka
kembali ke jalan yang lurus. Kalau mereka enggan kembali, maka disanalah hati
mereka dikunci dan ketika itu mereka menduga bahwa kehidupan tidak lain kecuali
kehidupan material yang penuh dengan krisis, dan bahwa kehidupan tidak lain
kecuali upaya untuk menghadapi alam dan menundukkannya. Dan ketika itu manusia
mengatur hidupnya atas dasar pandangan tersebut, serta berusaha sekuat tenaga
dan pikirannya untuk menciptakan dengan ilmu dan teknologi apa yang dapat
menghalangi bencana alam. Tetapi sungguh manusia sangat kufur lagi angkuh
ketika mereka menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan
kekuatan Allah Yang Maha Kuasa. Betapa ia dapat mengalahkanNya sedang manusia
dan alam raya semuanya berada dibawah kekuasaanNya dan dia pula bukan selainNya
yang menghubungkan partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar antara
satu dengan yang lain dari seluruh bagian jagad raya ini. Demikian lebih kurang
Thabathaba’i.
Kata fatahna
yang diterjemahkan dengan Kami limpahkan terambil dari kata fataha yang
bermakna membuka. Kata ini pada hakikatnya bermakna menyingkirkan penghalang,
maka itu berarti pintu akan terbuka sangat lebar dan ini mengantar melimpah dan
masuknya segala macam kebajikan melalui pintu itu.
Kata barakat
adalah bentuk jamak dari kata barakah yakni aneka kebajikan rohani dan jasmani.
Kata barakah bermakna sesuatu yang mantap juga berarti kebajikan yang melimpah
dan beraneka ragam serta bersinambung. Kolam dinamai birkah, karena air yang
ditampung dalam kolam itu menetap di dalamnya tidak tercecer kemana-mana.
Keberkatan
Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material
dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat
lain yang berbicara tentang keberkatan Ilahi memberi kesan bahwa keberkatan
tersebut merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan dari bumi
melalui segala penjurunya. Dari sisi segala penambahan yang tidak terukur oleh
indera dimnamai berkah.
Keberkatan dari
langit dapat juga dipahami dalam arti keberkatan spiritual dan keberkatan bumi
adalah keberkata material.
B. QS. Hud[11]: 117
$tBur tb%2 /u
Ï=ôgãÏ9 3tà)ø9$#
8Nù=ÝàÎ/
$ygè=÷dr&ur
cqßsÎ=óÁãB
ÇÊÊÐÈ
Artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan
negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat
kebaikan. ( Hud 117)
1. Tafsir Ibnu Kasir juz 12 :hal
174-177
Allah SWT, menyebutkan bahwa tidak sekali-kali Dia membinasakan suatu
penduduk kota melainkan bila penduduk kota itu berbuat aniaya terhadap diri
sendiri. Dan tidak sekali-kali azab dan pembalasanNya datang menimpa suatu
penduduk kota yang berbuat baik kecuali bila mereka berbuat aniaya.
2. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an juz
12 :hal 284-285
Isyarat ini
menyingkap salah satu sunnah Allah pada umat-ummat itu. Maka, umat yang terjdi
kerusakan di kalangan mereka dengan memperhamba manusia selain Allah, dalam
bentuk apapun, lalu ada orang yang bangkit untuk menolaknya, maka umat itu
adalah umat yang selamat, yang tidak akan di azab oleh Allah dengan
dihancurkan. Sedangkan umat-umat yang orang-orang zalimnya berbuat kezaliman
dan orang-orang rusak berbuat kerusakan, dengan tidak ada seorang pun yang
bangkit mencegah kezaliman dan kerusakan itu, maka sunnah Allah akan berlaku
atas negeri itu, mungkin dihancurkanNya habis-habisan, dan mungkin dihukum
dengan ditimbulkannya kerusakan dan kekacauan.
Maka, orang-orang
yang menyeru kepada Rububiyah Allah saja dan membersihkan bumi(negeri) dari
kerusakan yang disebabkan oleh sikap keberagaman kepada selain Allah, maka
mereka itulah pagar-pagar keamanan bagi umat dan bangsa. Inilah nilai perjuangan para pejuang yang hendak
menegakkan rububiyyahhanya untuk Allah Yang Maha Esa, yang berdiri tegak
menghadapi kezaliman dan kerusakan dengan segala bentuknya. Meereka tidak hanya
menunaikan kewajibannya kepada Tuhannya dan kepada agamanya. Tetapi, dengan
usaha dan perjuangannya ini mereka menghalangi umatnya dari kemurkaan Allah dan
dari hukuman dan siksaNya.
3.
Tafsir
al-Maraghi juz 12 :hal 183
Bukanlah sunnatu
‘i-Lah untuk membinasakan negeri karena kemusryikan penduduknya, selagi mereka
tetap melakukan kebaikan dalam usaha-usaha kemasyarakatan, pembangunan, atau
kemajuan. Artinya, selagi mereka tidak merugikan hal-hal orang lain, seperti
yang dilakukan oleh kaum Syu’aib, tidak berlaku kejam sesame manusia, sekejam
orang-orang yang berlaku sewenang-wenang, seperti kaum nabi hud, dan tidak
tunduk kepada seorang penguasa yang kejam dan sombong, seperti kaum Fir’aun, dan
tidak melakukan kekejian-kekejian, pembenggalan atau berbuat kemungkaran di
tempat-tempat perkumpulan mereka, seperti kelakuan kaum luth. Tapi, yang pasti
dihancurkan Tuhan ialah mereka yang disamping menyekutukan Allah, juga
melakukan kerusakan dalam amal perbuatan, hokum dan melakukan kezaliman yang
dapat merobohkan kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, orang berkata,
‘bangsa-bangsa itu akan tetap hidup sekalipun kafir, tapi akan binasa jika
mereka berbuat zalim dan kekejaman’. Hal ini dikuatkan pula oleh sebuah hadist
yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani, Al-Jailani, Ibnu Mardawaih dan Jabir bin
Abdi ‘I-Lah yang mengatakan, ‘saya mendengar Rasulullah SAW. Ditanyai tentang
penafsiran ayat ini, maka beliau berkata: sedang penduduknya bersikap adil.
4.
Tafsir
al-Azhar juz 12 :hal 152
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu akan membinasakan negeri-negeri
dengan kezliman, padahal enduduknya berbuat kezaliman.”(ayat 117).
Ayat ini aadalah penegas apa yang telah dibayangkan tidaklah akan
terjerumus ke dalam lembah kehinaan, kalau dalam generasi yang telah lampau
masih ada orang-orang yang mempunai peninggalan, atau meninggalkan bekas
ajaran, agar dunia ini jangan dirusak oleh perbuatan manusia. Kalau ada sedikit
yang dipelihara Tuhan, tidak termasuk dalam azab, mereka itu ialah penerima
pusaka ajaran orang tua-tua yang berjasa. Yang banyak menjerumuskan suatu
negeri ke dalam kecelakaan ialah kemewahan beberapa gelentir manusia yang
zalim. Yaitu yang tidak mau terikat dirinya oleh Tuntunan Ilahi. Proses atau
perkembangan dan perjalanan selanjutnya pasti akan mencapai klimaks. Pada
akhirnya mesti dating keputusan dari Tuhan, yaitu kehancuran. Untuk ini manusia
harus memeriksai dirinya sendiri. Kalau dalam suatu negeri masih ada orang
baik-baik, Tuhan tidaklah akan membinasakan negeri itu dengan aniaya, dengan
tidak ada sebab karena. Karena itu manusia harus mencari kesalahannya sendiri
jika terjadi apa-apa. Jangan Tuhan yang disesali.
5.
Tafsir
al Mishbah juz 12 :hal 360-361
Kata ma kana/tidak
pernah ada adalah suatu istilah yang mengandung makna penekanan dan
kesungguhan. Kata ini biasa juga diterjemahkan dengan tidak wajar atau tidak
sepatutnya. Dengan menyatakan tidak pernah ada, maka tertutup sudah kemungkinan
dapat terjadi hal tersebut dalam keadaan apapun. Jika istilah ini tertuju
kepada makhluk, maka itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu.
Redaksi itu, menurut asy-Sya’rawi, berbeda dengan redaksi ma yanbaghi yang
secara harfiah berarti tidak sepatutnya,karena yang terakhir ini masih
menggambarkan adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya dilakukan. Dengan
menegaskan tidak ada kemampuan, maka tertutup sudah kemampuan bagi wujudnya
sesuatu yang dimaksud, berbeda jika baru dinyatakan tidak sepatutnya. Ketika
ayat ini menyatakan bahwa tidak pernah ada, maka itu berarti apapun yang
terjadi, kezaliman dari Allah tidak akan pernah ada. Disinilah terletak
enekanan dan kesungguhan yang dikandung oleh redaksi itu.
Bagaimana Allah
melakukan kezaliman, sedang kezaliman terjadi bila seseorang mengambil hak
orang lain, baik karena dia butuh atau karena dia jahat. Allah SWT Maha Kaya,
tidak membutuhkan sesuatu. Tidak ada sesuatu yang ada pada manusia atau alam
raya yang dibutuhkan Allah, bahkan semua adalah milik-Nya, karena Dia yang
menganugerahkannya.
Kata muslihun
adalah bentuk jamak dari kata muslih. Seseorang dituntut, paling tidak, menjadi
shalih, yakni memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisi sesuatu itu tetap
bertahan sebagaimana adanya, dan dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi
dengan baik dan bermanfaat. Seorang muslih adalah seseorang yang menemukan
sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan
bermanfaat, lalu melakukan aktivitas(memperbaiki)sehingga yang kurang atau
hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Yang lebih baik dari itu
adalah seseorang yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi
dengan baik, lalu dia melakukan aktivitaas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu
itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.
Huruf ba’(yang
dibaca bi) pada kata bizhulmin pada ayat diatas, ada yang memahaminya dalam
arti mulabasah, yakni kebersamaan dan persentuhan dengan kata Tuhanmu. Atas
dasar itu, ia dipahami bahwa Allah SWT. Tidak melakukan sesuatu dngan cara
aniaya sekecil apapun. Ada juga yang memahami huruf tersebut sebagai berfungsi
menjelaskan sebab, dan dengan demikian ia berkaitan dengan penduduk negeri.
Jika pendapat kedua ini yang dipilih, maka ayat tersebut menjelaskan bahwa
jatuhnya siksa Allah terhadap penduduk suatu negeri bukan disebabkan karena
kezaliman yang besar yakni kemusryikan yang dilakkukan oleh penduduk negeri
itu. Siksa Allah tidak akan jatuh terhadap mereka selama mereka masih melakukan
perbaikan dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Ini karena Allah penyantun dan
mendahulukan kemasyalatan hambaNya daripada pengabdian kepadaNya. Asy-Sya’rawi
menulis bahwa “negeri-negeri yang penduduknya melakukan kebaikan, tidak akan
dibinasakan Allah. Karena perbaikan yang mereka lakukan, bila merupakan hasil
kepatuhan terhadap system yang
ditetapkan Allah SWT, maka ketika itu terjadi perbenturan antara berbagi gerak.
Yang terjadi justru sebaliknya, yakni gerak-gerak tersebut saling mendukung dan
menguatkan sehingga lahir masyarakat yang didambakan. Dan bila perbaikan itu
dilakukan oleh mereka yang patuh kepada Allah dan sistem yang ditetapkanNya,
tetapi mereka menemukan satu cara kerja yang menenangkan dan sesuai bagi
mereka, maka ketika itu pun Allah tidak menjatuhkan siksaNya, karena Allah SWT.
Tidak menghalangi akal manusia menemukan cara yang menyenangkan kehidupan
mereka, maka ketika itupun Allah tidak menjatuhkan siksaNya, karena Allah SWT. Tidak
menghalangi akal manusia menemukan cara yang menyenangkan kehidupan mereka.
Hanya saja, lanjut asy Sya’rawi dalam menafsirkan ayat ini, sekali lagi
menekankan bahwa Allah SWT. Tidak membinasakan suatu negeri karena penduduknya
kafir, bahkan Dia melanggengknnya dalam keadaan kafir selama mereka menetapkan
dan melaksanakan dengan baik peraturan-peraturan menyangkut hak-hak dan
kewajiban-kewajiban anggota masyarakatnya walaupun untuk itu mereka harus
membayar mahal berupa kesengsaraan dan
kepedihan batin. Itulah, menurut asy-Sya’rawi, yang dimaksud dengan wa
ahlushlihun/dan penduduknya adalah muslihun.
Daftar Pustaka
Ahmad Mustafa Al-Maragi, terjemah
Bahrun Abubakar, L.C.Tafsir Al-Maragi,
IX,
(Semarang:Toha
Putra,1985)
Ahmad Mustafa Al-Maragi, terjemah
Bahrun Abubakar, L.C.Tafsir Al-Maragi,
XII,
(Semarang:Toha
Putra,1985)
Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, terjemah Bahrun Abu Bakar, L.C,
Tafsir Ibnu Katsir, 9, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2004)
Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, terjemah Bahrun Abu Bakar, L.C,
Tafsir Ibnu Katsir,12, (Bandung:Sinar Baru
Algensindo,2004)
Asy-Syahid Sayyid Quthb, terjemah As’ad
Yasin, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 4
(Depok:Gema
Insani,2001)
Asy-Syahid Sayyid Quthb, terjemah As’ad
Yasin, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 6
(Depok:Gema
Insani,2001)
Hamka,Tafsir Al-Azhar, IX,(Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982)
Hamka,Tafsir Al-Azhar, XII,(Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982)
M, Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah, jilid 4,(Jakarta:Lentera Hati, 2003)
M, Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah, jilid 6,(Jakarta:Lentera Hati, 2003)
No comments:
Post a Comment