Monday, July 2, 2012

ayat-ayat berkah bagi penerima dakwah


AYAT-AYAT BERKAH BAGI PENERIMA DAKWAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Tafsir

DISUSUN OLEH :
1.      SITI INDARWATI                               (B03211031)

Pembimbing:
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BKI/C1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012

TAFSIR
AYAT-AYAT BERKAH BAGI PENERIMA DAKWAH
A.    QS. Al-A’raf[7]: 96
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ
Artinya:   Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( Al’Araf 96).
1.      Tafsir  Ibnu Kasir                    juz 9   : hal 10-12
Yaitu hati mereka beriman kepada apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, membenarkannya, mengikutinya, dan bertakwa dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan meninggalkan semua yang di haramkan.
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur
Maksudnya hujan dari langit dan tetumbuhan dari bumi.
`Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ
Artinya, tetapi mereka mendustakan rasul-rasulNya, maka kami siksa mereka dengan menimpakan kebinasaan atas mereka karena perbuatan-perbuatan dosa dan hal-hal haram yang mereka kerjakan.

2.      Tafsir Fi Zhilalil Qur’an          juz 9    :hal 374-376
Ini adalah sisi lain dari sunnah Allah yang berlaku. Seandainya penduduk suatu negeri benar-benar beriman untuk menggantikan sikap mendustakan ajaran-ajaran Allah, dan bertaqwa untuk menggantikan sikap bandel dan tidak peduli, niscahya Allah akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi. Begitulah berkah-berkah dari langit dan bumi dibukakan tanpa perhitungan, dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Pengungkapan Al-Qur’an dengan redaksi yang umum dan kompleks memberikan bayang-bayang pelimpahan yang deras, yang tidak terbatas pada apa yang dibayangkan manusia mengenai rezeki dari makanan.
Di depan nash ini ada nash sebelumnya kita berhadapan dengan sebuah hakikat dari sekian banyak hakikat akidah dan hakikat kehidupan manusia dan alam semesta. Kita berhadapan dengan salah satu unsur dari unsur-unsur yang memengaruhi sejarah manusia, yang dilupakan oleh mazhab-mazhab positivme, diabaikan, bahkan diingkarinya sama sekali.
Akidah imaniah kepada Allah dan taqwa kepadaNya bukanlah masalah yang terlepas dari realitas kehidupan dan terlepas dari garis sejarah manusia. Iman kepada Allah dan taqwa kepada-Nya merupakan dua faktor yang menjadikan yang bersangkutan layak mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi, sebagaimana dijanjikan oleh Allah. Siapakah gerangan yang lebih menepati janjinya daripada Allah?
Kita menerima janji ini dengan hati orang yang beriman. Maka, pertama-tama kita membenarkannya, tanpa menanyakan alasan dan sebabnya, dan tanpa meragukan sedikitpun realisasinya. Kita beriman kepada Allah, sedangkan Dia itu ghoib. Kita membenarkan janjiNya sebagai konsekuensi iman ini.
Kemudian kita perhatikan janji Allah itu dengan perenungan yang dalam, sebagaimana yang diperintahkan oeh iman kita, maka tiba-tiba kita dapati alasan dan sebabnya.
Iman kepada Allah adalah petunjuk atas hidupnya fitrah dan sehatnya perangkat-perangkatnya, petunjuk atas kebenaran pemahaman insan dan hidupnya unsure-unsur bangunan kemanusiaan itu, dan menunjukkan keluasan perasaan terhadap hakikat-hakikat keberadaan. Semua ini menjadikan mereka layak memdapatkan keberuntungan dalam kehidupan nyata.
Selain itu, iman kepada Allah merupakan kekuatan pendorong hebat yang menghimpun semua sisi keberadaan manusia, mengarahkannya kepada satu arah, dan membebaskanya menyerap kekuatan dari kekuatan Allah. Juga bekerja dan beramal untuk merealisasikan kehendakNya untuk mengelola dan memakmurkan bumi, untuk menolak kerusakan dan fitnah, dan untuk meningkatkan serta mengembangkan kehidupan. Semua ini juga merupakan faktor-faktor yang menjadikan mereka layak mendapatkan keberuntungan di dalam kehidupan nyata ini.
Iman kepada Allah membebaskan manusia dari penyembahan kepada hawa nafsu dan sesama hamba Allah. Tidak diragukan lagi bahwa manusia merdeka yang hanya menyembah Allah saja, lebih mampu mengelola bumi dengan pengolahan yang benar dan maju, daripada manusia yang menghambakan diri kepada hawa nafsu dan menyembah kepada sesamanya.
Takwa kepada Allah merupakan kesadaran mendalam yang melindungi manusia dari semua dorongan, kengawuran, kebohongan, dan keteperdayaan dalam bergerak dan berkehidupan. Juga mangarahkan usaha manusia untuk berhati-hati dan penuh perhitungan, sehingga tidak melanggar, tidak ngawur, dan tidak melampaui batas-batas aktivitas yang layak dan shaleh.
Ketika kehidupan berjalan secara sinergis antara unsur-unsur pendorongnya dan pengekangnya, dengan bekerja di bumi dan memandang ke langit, terbebas dari hawa nafsu dan kezaliman manusia, menghambakan diri dan tunduk kepada Allah berjalan dengan baik dan menuju kearah yang menjadikannya berhak mendapatkan pertolongan Allah sesudah mendapatkan keridhoan-Nya, maka sudah tentu kehidupan model ini akan diliputi dengan berkah, dipenuhi dengan kebaikan, dan dinaungi dengan kebahagiaan dan keberuntungan. Masalahnya, dalam sisi ini, adalah masalah realitas yang tampak di samping kelemahlembutan Allah yang tidak terlihat. Yaitu, realitas yang memiliki illat dan sebab-sebab lahiriah, di samping qadar Allah yang ghoib dan dijanjikan.
Berkah-berkah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa secara tegas dan meyakinkan itu, bermacam-macam jenis dan ragamnya. Juga tidak diperinci  dan tidak ditentukan batas-batasnya oleh nash itu. Isyarat yang diberikan nash Al-Qur’an itu menggambarkan limpahan yang turun dari semua tempat, bersumber dari semua lokasi, tanpa batas, tanpa perincian, dan tanpa penjelasan. Maka, ia adalah berkah dengan segala macam dan warnanya, dengan segala gambaran dan bentuknya. Ia adalah apa yang terbiasa pada manisia dan apa yang terbayangkan olehya, dan apa yang tidak terdapat di dalam realitas dan dalam khayalan.
Orang-orang yang menggambarkan iman dan taqwa kepada Allah sebagai masalah ta’aabudiyyah an sich yang tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan manusia dimuka bumi, maka mereka itu belum mengerti iman dan belum mengerti kehidupan. Alangkah tepatnya  kalau mereka melihat hubungan yang demikian erat ini dan disaksikan oleh Allah SWT. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Semua ini terlihat nyata dengan sebab-sebabnya yang dapat diketahui manusia.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.(al-A’raf: 96)
Kadang-kadang sebagian orang melihat bangsa-bangsa yang mengaku sebagai bangsa muslim hidup dalam kesempitan rezeki, kelaparan, dan kesengsaraan. Sementara orang-orang yang tidak beriman dan tidak bertakwa hidup dengan mendapatkan rezeki yang melimpah, sehat dan terpenuhi semua keinginannya. Maka, mereka pun bertanya-tanya, “kalau begitu, di manakah sunnah Allah yang tidak akan pernah berganti itu?”
Akan tetapi, apa yang terlihat itu hanya kesalahpandangan terhadap kondisi-kondisi lahiriah. Mereka yang mengaku sebagai orang muslim itu bukan orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa. Karena, mereka tidak memurnikan ubudiahnya kepada Allah saja, dan tidak mengaplikasikan syahadad bahwa tiada illah kecuali Allah di dalam kehidupan nyata mereka. Mereka telah menyerahkan leher mereka kepada orang-orang yang sama dengan mereka, yang mengangkat dirinya sebagai tuhan-tuhan atas mereka dan membuat syariat untuk mereka baik yang berupa undang-undang, tata nilai, maupun tradisi-tradisi.
Maka, mereka itu bukanlah orang mukmin yang sebenarnya. Karena orang mukmin yang sebenarnya itu tidak akan membiarkan seseorang dari hamba Allah ini menjadikan dirinya sebagai Tuhan baginya, tidak akan menjadikan seorang hamba sebagai Tuhan yang mengatur kehidupannya dengan syariat dan perintahnya. Pada hari para pendahulu orang-orang yang mengaku beriman itu benar-benar muslim, maka dunia tunduk kepada mereka, berkah-berkah dari langit dan bumi melimpah ruah atas mereka.
Adapun orang-orang yang dibukakan atas mereka pintu-pintu rezeki, maka ini merupakan sunnah.
“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan", maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya”.(ala-A’raaf: 95)
Ini adalah ujian yang berupa kenikmatan dan kesenangan sebagaimana sudah disebutkan di muka, dan ini lebih berbahaya daripada ujian yang berupa kesulitan. Perbedaan antara hal ini dan barakah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa ialah, bahwa berkah itu kadang-kadang menyertai sesuatu yang jumlahnya sedikit, tetapi memberikan manfaat yang banyak diiringi dengan kebaikan, keamanan, kerelaan, dan kelapangan hati. Berapa banyak bangsa yang kaya dan kuat, tetapi hidup dalam penderitaan, tidak aman, bercerai-berai, penuh kegoncangan, daan menungu kehancuran. Maka, kekuatan mereka adalah kekuatan tanpa keamanan, hiburan tanpa kerelaan, dan kemelimpahan tanpa kebaikan. Ini adalah keindahan sementara yang sedang menunggu kehancuran, dan ini adalah ujian yang berakibat dengan bencana.
Berkah yang diperoleh bersama iman dan takwa, adalah berkah yang terdapat pada segala sesuatu. Berkah yang terdapat dalam jiwa, dalam perasaan, dan dalam kehidupan yang baik. Juga berkah yang mengembangkan kehidupan dan meninggikan mutunya pada setiap waktu. Jadi, bukan semata-mata melimpahnya kekayaan, tapi dibarengi dengan penderitaan, kesengsaraan, dan kerusakan.

3.      Tafsir al-Maraghi                     juz 9    :hal 21-25

4.   öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur
            Maksudnya, bahwa dibukanya semua pintu ksenangan itu adalah sebagai cobaan dan ujian bagi mereka, yang akibatnya diantara mereka ada yang lupa daratan dan semakin jahat, bukannya bersyukur pada emberi nikmat. Sehingga kesenangan itu berubah menjadi bencana, bukan nikmat, dan menjadi fitnah, bukan berkah. Lain halnya orang-orang yang beriman. Bagi mereka, dibukakannya pintu-pintu kesenangan oleh Allah menjadikan mereka bersyukur kepadaNya dan berterima kasih atas anugrahNya, lalu digunakanlah untuk hal-hal yang baik, bukan hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan pembangunan, bukan kerusakan. Oleh karenanya mereka mendapat balasan berupa semakin bertambahnya kenikmatan di dunia dan pahala yang baik kelak di akhirat.
`Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ
            Akan tetapi, penduduk kota-kota itu tidak beriman dan tidak bertakwa, bahkan mendustakan. Maka, kami hukum mereka atas perbuatan yang mereka lakukan, yang berupa kemusyrikan dan kemaksiatan yang merusak stabilitas masyarakat manusia.
            Hukuman keras itu, sebenarnya merupakan dampak yang lazim dari perbuatan maksiat yang mereka lakukan, berdasarkan sunnah-sunnah yang telah Allah terapkan pada alam semesta, dan merupakan pelajaran bagi orang lain, semisal mereka andaikan mau berpikir tentang hukum-hukum umum dari ala mini, yang takkan berubah dan takkan berganti.

5.      Tafsir al-Azhar                        juz 9    :hal 17-19
“Dan jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.(pangkal ayat 96) keimanan dan takwa kepada Allah  membukakan pintu rezeki. Sebab kalau orang telah beriman dan bertakwa, fikirannya sendiri terbuka, ilhampun datang. Sebab iman dan takwa itu menimbulkan silaturahmi sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerjasama yang baik sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Dengan demikian turunlah berkat dari langit dan menyemburkan berkat dari bumi.  Berkat itu dua macamnya, yaitu yang hakiki dan yang ma’nawi. Yang hakiki ialah yang berupa hujan kesuburan bumi, maka teraturlah tumbuhan dan keluarlah segala hasil bumi. Atau terbukalah fikiran manusia menggali harta dan kekayaan yang terpendam dalam bumi itu, seumpama besi, emas, perak, dan logam lain, atau mengatur perkebunan yang luas, menyuburkan ekonomi seumpama kopra, getah dan benang emas, palm, dan lain-lain. Yang ma’nawi ialah timbulnya fiiran-fikiran yang baru dan petunjuk dari Allah kepada orang-orang  yang berjuang dengan ikhlas. Dan dengan iman dan takwa,pusaka nenek moyang bisa dipertahankan. “Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka dengan sebab apa yang telah mereka usahakan”.
                Artinya, berkat dan nikmat itu bisa dicabut  Allah kembali karena iman dan takwa tidak berpengaruh lagi atas jiwa penduduk negeri itu. Meskipun hujan turun juga menurut musimnya, bukan lagi kesuburan yang akan dibawanya, melainkan banjir yang menghalau melicin tandaskan segala apa yang telah ditanam. Misalnya karena tiap-tiap orang, karena tidak iman dan takwa, berebut lekas kaya, lalu mereka terbagi hutan sekeliling mereka, sehingga terjadi erosi.
Hanyut bunga tanah, kersang tanah, bila hujan terjadi banjir, dimusim panas sumur-sumur kering.
Inilah yang pernah digambarkan dengan jelas di dalam al Qur’an Surat Saba’(Surat 34), tentang penduduk negeri Saba’ yang makmur. “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghofuur.” Negeri yang subur dan Allah Yang Pengampun. Kesuburan tanah mereka  yang bertali dan berkelidan dengan ketaatan mereka kepada Allah. Sehingga mereka dapat mengatur perairan dan waduk(bendungan) yang teratur. Tetapi setelah anak cucu mendapati bekas usaha orang tua, hidup dengan senang dan mewah di atas tanah yang subur, semuanya malas memelihara baik-baik pusaka itu, sehingga bendungan jadi rusak dan kebun-kebun yang subur menjadi bertambah susut penghasilannya. Lalu mereka berganti jadi orang perantau. Tetapi perantauan kian lama kian jauh, sehingga kampung pangkalan jadi tinggal, dan akhirnya negeri Saba’ musnah, penduduknya habis pindah, porak poranda.
Kalau iman dan takwa tidak ada lagi, silaturahmi sesama manusia pun padam, bahkan berganti dengan perebutan kekayaan untuk diri sendiri, biar orang lain teraniaya. Akhirnya, meskipun mereka dapat   menggali kekayaan bumi, mereka pergunakanlah kekayaan itu buat menindas yang lemah. Sebagaimana di zaman sekarang orang menggali pertambangan manggan dan uranium, untuk bahan membuat atom atau senjata nuklir yang lainnya.
Di dalam ayat ini kita menampak  pedoman hidup jelas, bahwasanya hidup beriman dan bertakwa semata-mata karena hendak  mengejar masuk syurga di akhirat, bahkan terlebih dahulu menu berkat yang belimpah ruah dalam dunia ini. Ayat ini menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi kait kekayaan bumi yang telah dapat dibongkar manusia, tidaklah dia akan membawa berkat kalau iman dan takwa tidak ada dalam jiwa. Maka segala bencana yang menimpa suatu umat, bukanlah dari salah orang lain, melainkan dari sebab usaha yang salah. Timbul kasalahan karena iman dan takwa tidak ada lagi.

6.      Tafsir al Mishbah                    juz 9    :hal 174-178
Demikianlah siksa yang dijatuhkan Allah atas mereka yang durhaka, padahal jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri yang kami kisahkan keadaan mereka beriman kepada rasul-rasul mereka ketika para rasul itu atau ajarannya datang kepada mereka dan bertakwa, yakni melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, pastilah Kami yakni Allah melalui makhluk-Nya melimpahkan kepada mereka berkah-berkah yakni aneka kebajikan yang sangat banyak dari langit dan bumi yang menghasilkan kesejahteraan lahir dan batin, tetapi mereka mendustakan para rasul dan ayat-ayat Kami maka Kami siksa mereka disebabkan apa yakni disebabkan kedurhakaan yang mereka terus-menerus lakukan sejalan dengan kebejatan jiwa mereka.
Kata (لو) lau/jikalau digunakan dalam arti  perandaian terhadap sesuatu yang mustahil/tidak mungkin lagi akan terjadi. Ini berbeda dengan kata idza/apabila yang digunakan untuk menggambarkan perandaiaan bagi sesuatu yang diduga keras akan terjadi. Penggunaan kata lau disini menunjukkan bahwa melimpahnya keberkatan untuk penduduk negeri-negeri yang durhaka itu adalah sesuatu yang mustahil. Kendati demikian, ayat ini dapat juga dipahami sebagai mengisyaratkan salah satu sunnah Allah yang lain yaitu bahwa Allah akan melimpahkan aneka anugrah dan keberkatan kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa. Sejarah Islam menunjukkan bahwa penduduk Mekah yang durhaka kepada Allah SWT. Mengalami masa-masa sulit bahkan paceklik selama tujuh tahun, sedang penduduk Madinah hidup aman dan sejahtera di bawah bimbingan Rasul SAW.
Keimanan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis, dan ini mengantarnya hidup tenang dan dapat berkonsentrasi dalam usahanya. Itu sebabnya, keimanan kepada Allah selalu ditekankan dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rezeki. Sekian banyak ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah penjamin rezeki: “Tidak ada satu binatang melatapun di dunia ini kecuali Allah yang menjamin rezekiNya”(QS. Hud[11]: 6). Lebih jauh di tegas-Nya: “Berapa banyak binatang yang tidak dapat mengurus rezeki-Nya, Allah yang memberikan rezek, juga kepadam”(QS. Al-Ankabut[29]: 60).
Ini bukan anjuran menanti kedatangan rezeki tanpa usaha, tetapi tujuannya adalah menanamkan rasa percaya diri, mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin bila rezeki diharapkan belum kunjung tiba.
Ketaqwaan penduduk satu negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam kebajikan dan tolong menolong, dalam mengelola bumi serta menikmatinya bersama. Semakin kukuh kerjasama dan semakin tenang jiwa, maka semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini.
Sebaliknya mempersekutukan Tuhan menjadikan perhatian tertuju kepada sekian sumber yang berbeda-beda., dan ini mengakibatkan jiwa tidak tenang, sehingga tidak dapat berkonsentrasi dalam usaha. Disisi lain, kedurhakaan mengakibatkan kekacauan dan permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada upaya meraih kesejahteraan, tetapi mengarah kepada upaya membentengi diri dari ancaman sesama. Demikian Allah melimpahkan keberkatan bagi yang percaya dan bertaqwa dan menghalanginya bagi yang kafir dan durhaka.
Sayyid Quthub berkomentar tentang ayat ini dan ayat sebelumnya bahwa di hadapan teks itu kita berhenti menghadapi salah satu faktor dari sekian faktor yang mempengaruhi sejarah umat manusia, kendati diabaikan oleh filsafat manusia bahkan diingkari secara total olehnya.
Keimanan kepada Allah tulis Sayyid Quthub lebih jauh adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran pengetahuan manusia, serta dinamisme organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan dalam bidang rasa menyangkut hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah adalah pendorong yang sangat kukuh; ia menghimpun semua potensi manusia dan mengarahkannya ke satu tujuan sambil memberinya kebebasan untuk meraih dukungan dari kekuatan Allah, dan melakukan aktivitas sesuai dengan kehendakNya. Yaitu membangun dunia ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan penganiayaan, serta meningkatkan kualitas hidup dan mengembangkannya. Semua ini juga adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan kepada Allah semata, lebih mampu untuk menjadi khalifah di bumi kekhalifaan yang lurus, bersinambung dan terus meningkat dibanding dengan mereka yang menjadi hamba-hamba hawa nafsu atau hamba-hamba sesama manusia. Adapun ketaqwaan kepada Allah, maka ia adalah kesadaran yang bertanggung jawab yang memelihara manusia dari kecerobohan, ketidak adilan dan keangkuhan. Ia merupakan pendorong gerak dan pendorong hidup. Ia yang mengarahkan kegiatan manusia dengan hati-hati sehingga tidak bertindak sewenang-wenang, tidak ceroboh dan tidak melampaui batas kegiatan yang bermanfaat.
Thabathaba’i ketika menafsirkan ayat ini antara lain menulis bahwa alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain bagaikan satu badan dalam keterkaitannya, pada rasa sakit atau sehatnya, juga dalam pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya. Semua saling mempengaruhi, dan semua pada akhirnya sebagaimana dijelaskan al-Qur’an bertumpu dan kembali kepada Allah SWT. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi dengan baik atau menyimpang dari jalan yang seharusnya ia tempuh, maka akan Nampak dampak negatifnya pada bagian yang lain dan ini ada gilirannya akan mempengaruhi seluruh bagian. Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan hukum alam yang ditetapkan Allah SWT, yang tidak mengalami perubahan; termasuk terhadap manusia dan manusiapun tidak mampu mengelak darinya. Masyarakat manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan Allah bagi kebahagiaannya penyimpangannya dalam batas tertentu itu menjadikan keadaan sekelilingnya termasuk hukum-hukum sebab akibat yang berkaitan dengan alam raya dan yang mempengaruhi manusia ikut terganggu dan ini pada gilirannya menimbulkan dampak negatif. Bila itu terjadi, maka akan lahir krisis dalam kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam interaksi sosial mereka, seperti krisis moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman bahkan lebih dari itu akan bertumpuk musibah dan bencana alam, seperti “keengganan langit menurunkan hujan atau bumi menumbuhkan tumbuhan, “, banjir dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya. Semua itu adalah tanda-tanda yang diberikan Allah swt. Untuk memperingatkan manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus. Kalau mereka enggan kembali, maka disanalah hati mereka dikunci dan ketika itu mereka menduga bahwa kehidupan tidak lain kecuali kehidupan material yang penuh dengan krisis, dan bahwa kehidupan tidak lain kecuali upaya untuk menghadapi alam dan menundukkannya. Dan ketika itu manusia mengatur hidupnya atas dasar pandangan tersebut, serta berusaha sekuat tenaga dan pikirannya untuk menciptakan dengan ilmu dan teknologi apa yang dapat menghalangi bencana alam. Tetapi sungguh manusia sangat kufur lagi angkuh ketika mereka menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan kekuatan Allah Yang Maha Kuasa. Betapa ia dapat mengalahkanNya sedang manusia dan alam raya semuanya berada dibawah kekuasaanNya dan dia pula bukan selainNya yang menghubungkan partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar antara satu dengan yang lain dari seluruh bagian jagad raya ini. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Kata fatahna yang diterjemahkan dengan Kami limpahkan terambil dari kata fataha yang bermakna membuka. Kata ini pada hakikatnya bermakna menyingkirkan penghalang, maka itu berarti pintu akan terbuka sangat lebar dan ini mengantar melimpah dan masuknya segala macam kebajikan melalui pintu itu.
Kata barakat adalah bentuk jamak dari kata barakah yakni aneka kebajikan rohani dan jasmani. Kata barakah bermakna sesuatu yang mantap juga berarti kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung. Kolam dinamai birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap di dalamnya tidak tercecer kemana-mana.
Keberkatan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat lain yang berbicara tentang keberkatan Ilahi memberi kesan bahwa keberkatan tersebut merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan dari bumi melalui segala penjurunya. Dari sisi segala penambahan yang tidak terukur oleh indera dimnamai berkah.
Keberkatan dari langit dapat juga dipahami dalam arti keberkatan spiritual dan keberkatan bumi adalah keberkata material.

B.     QS. Hud[11]: 117
$tBur tb%Ÿ2 š/u šÏ=ôgãŠÏ9 3tà)ø9$# 8Nù=ÝàÎ/ $ygè=÷dr&ur šcqßsÎ=óÁãB ÇÊÊÐÈ
Artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. ( Hud 117)

1.      Tafsir Ibnu Kasir                     juz 12  :hal 174-177
Allah SWT, menyebutkan bahwa tidak sekali-kali Dia membinasakan suatu penduduk kota melainkan bila penduduk kota itu berbuat aniaya terhadap diri sendiri. Dan tidak sekali-kali azab dan pembalasanNya datang menimpa suatu penduduk kota yang berbuat baik kecuali bila mereka berbuat aniaya.

2.      Tafsir Fi Zhilalil Qur’an          juz 12  :hal 284-285
Isyarat ini menyingkap salah satu sunnah Allah pada umat-ummat itu. Maka, umat yang terjdi kerusakan di kalangan mereka dengan memperhamba manusia selain Allah, dalam bentuk apapun, lalu ada orang yang bangkit untuk menolaknya, maka umat itu adalah umat yang selamat, yang tidak akan di azab oleh Allah dengan dihancurkan. Sedangkan umat-umat yang orang-orang zalimnya berbuat kezaliman dan orang-orang rusak berbuat kerusakan, dengan tidak ada seorang pun yang bangkit mencegah kezaliman dan kerusakan itu, maka sunnah Allah akan berlaku atas negeri itu, mungkin dihancurkanNya habis-habisan, dan mungkin dihukum dengan ditimbulkannya kerusakan dan kekacauan.
            Maka, orang-orang yang menyeru kepada Rububiyah Allah saja dan membersihkan bumi(negeri) dari kerusakan yang disebabkan oleh sikap keberagaman kepada selain Allah, maka mereka itulah pagar-pagar keamanan bagi umat dan bangsa. Inilah nilai  perjuangan para pejuang yang hendak menegakkan rububiyyahhanya untuk Allah Yang Maha Esa, yang berdiri tegak menghadapi kezaliman dan kerusakan dengan segala bentuknya. Meereka tidak hanya menunaikan kewajibannya kepada Tuhannya dan kepada agamanya. Tetapi, dengan usaha dan perjuangannya ini mereka menghalangi umatnya dari kemurkaan Allah dan dari hukuman dan siksaNya.

3.      Tafsir al-Maraghi                     juz 12  :hal 183
            Bukanlah sunnatu ‘i-Lah untuk membinasakan negeri karena kemusryikan penduduknya, selagi mereka tetap melakukan kebaikan dalam usaha-usaha kemasyarakatan, pembangunan, atau kemajuan. Artinya, selagi mereka tidak merugikan hal-hal orang lain, seperti yang dilakukan oleh kaum Syu’aib, tidak berlaku kejam sesame manusia, sekejam orang-orang yang berlaku sewenang-wenang, seperti kaum nabi hud, dan tidak tunduk kepada seorang penguasa yang kejam dan sombong, seperti kaum Fir’aun, dan tidak melakukan kekejian-kekejian, pembenggalan atau berbuat kemungkaran di tempat-tempat perkumpulan mereka, seperti kelakuan kaum luth. Tapi, yang pasti dihancurkan Tuhan ialah mereka yang disamping menyekutukan Allah, juga melakukan kerusakan dalam amal perbuatan, hokum dan melakukan kezaliman yang dapat merobohkan kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, orang berkata, ‘bangsa-bangsa itu akan tetap hidup sekalipun kafir, tapi akan binasa jika mereka berbuat zalim dan kekejaman’. Hal ini dikuatkan pula oleh sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani, Al-Jailani, Ibnu Mardawaih dan Jabir bin Abdi ‘I-Lah yang mengatakan, ‘saya mendengar Rasulullah SAW. Ditanyai tentang penafsiran ayat ini, maka beliau berkata: sedang penduduknya bersikap adil.
                  
4.      Tafsir al-Azhar                        juz 12  :hal 152
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu akan membinasakan negeri-negeri dengan kezliman, padahal enduduknya berbuat kezaliman.”(ayat 117).
Ayat ini aadalah penegas apa yang telah dibayangkan tidaklah akan terjerumus ke dalam lembah kehinaan, kalau dalam generasi yang telah lampau masih ada orang-orang yang mempunai peninggalan, atau meninggalkan bekas ajaran, agar dunia ini jangan dirusak oleh perbuatan manusia. Kalau ada sedikit yang dipelihara Tuhan, tidak termasuk dalam azab, mereka itu ialah penerima pusaka ajaran orang tua-tua yang berjasa. Yang banyak menjerumuskan suatu negeri ke dalam kecelakaan ialah kemewahan beberapa gelentir manusia yang zalim. Yaitu yang tidak mau terikat dirinya oleh Tuntunan Ilahi. Proses atau perkembangan dan perjalanan selanjutnya pasti akan mencapai klimaks. Pada akhirnya mesti dating keputusan dari Tuhan, yaitu kehancuran. Untuk ini manusia harus memeriksai dirinya sendiri. Kalau dalam suatu negeri masih ada orang baik-baik, Tuhan tidaklah akan membinasakan negeri itu dengan aniaya, dengan tidak ada sebab karena. Karena itu manusia harus mencari kesalahannya sendiri jika terjadi apa-apa. Jangan Tuhan yang disesali.

5.      Tafsir al Mishbah                    juz 12  :hal 360-361
            Kata ma kana/tidak pernah ada adalah suatu istilah yang mengandung makna penekanan dan kesungguhan. Kata ini biasa juga diterjemahkan dengan tidak wajar atau tidak sepatutnya. Dengan menyatakan tidak pernah ada, maka tertutup sudah kemungkinan dapat terjadi hal tersebut dalam keadaan apapun. Jika istilah ini tertuju kepada makhluk, maka itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu. Redaksi itu, menurut asy-Sya’rawi, berbeda dengan redaksi ma yanbaghi yang secara harfiah berarti tidak sepatutnya,karena yang terakhir ini masih menggambarkan adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya dilakukan. Dengan menegaskan tidak ada kemampuan, maka tertutup sudah kemampuan bagi wujudnya sesuatu yang dimaksud, berbeda jika baru dinyatakan tidak sepatutnya. Ketika ayat ini menyatakan bahwa tidak pernah ada, maka itu berarti apapun yang terjadi, kezaliman dari Allah tidak akan pernah ada. Disinilah terletak enekanan dan kesungguhan yang dikandung oleh redaksi itu.
            Bagaimana Allah melakukan kezaliman, sedang kezaliman terjadi bila seseorang mengambil hak orang lain, baik karena dia butuh atau karena dia jahat. Allah SWT Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatu. Tidak ada sesuatu yang ada pada manusia atau alam raya yang dibutuhkan Allah, bahkan semua adalah milik-Nya, karena Dia yang menganugerahkannya.
            Kata muslihun adalah bentuk jamak dari kata muslih. Seseorang dituntut, paling tidak, menjadi shalih, yakni memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisi sesuatu itu tetap bertahan sebagaimana adanya, dan dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Seorang muslih adalah seseorang yang menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas(memperbaiki)sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Yang lebih baik dari itu adalah seseorang yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu dia melakukan aktivitaas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.
            Huruf ba’(yang dibaca bi) pada kata bizhulmin pada ayat diatas, ada yang memahaminya dalam arti mulabasah, yakni kebersamaan dan persentuhan dengan kata Tuhanmu. Atas dasar itu, ia dipahami bahwa Allah SWT. Tidak melakukan sesuatu dngan cara aniaya sekecil apapun. Ada juga yang memahami huruf tersebut sebagai berfungsi menjelaskan sebab, dan dengan demikian ia berkaitan dengan penduduk negeri. Jika pendapat kedua ini yang dipilih, maka ayat tersebut menjelaskan bahwa jatuhnya siksa Allah terhadap penduduk suatu negeri bukan disebabkan karena kezaliman yang besar yakni kemusryikan yang dilakkukan oleh penduduk negeri itu. Siksa Allah tidak akan jatuh terhadap mereka selama mereka masih melakukan perbaikan dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Ini karena Allah penyantun dan mendahulukan kemasyalatan hambaNya daripada pengabdian kepadaNya. Asy-Sya’rawi menulis bahwa “negeri-negeri yang penduduknya melakukan kebaikan, tidak akan dibinasakan Allah. Karena perbaikan yang mereka lakukan, bila merupakan hasil kepatuhan  terhadap system yang ditetapkan Allah SWT, maka ketika itu terjadi perbenturan antara berbagi gerak. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni gerak-gerak tersebut saling mendukung dan menguatkan sehingga lahir masyarakat yang didambakan. Dan bila perbaikan itu dilakukan oleh mereka yang patuh kepada Allah dan sistem yang ditetapkanNya, tetapi mereka menemukan satu cara kerja yang menenangkan dan sesuai bagi mereka, maka ketika itu pun Allah tidak menjatuhkan siksaNya, karena Allah SWT. Tidak menghalangi akal manusia menemukan cara yang menyenangkan kehidupan mereka, maka ketika itupun Allah tidak  menjatuhkan siksaNya, karena Allah SWT. Tidak menghalangi akal manusia menemukan cara yang menyenangkan kehidupan mereka. Hanya saja, lanjut asy Sya’rawi dalam menafsirkan ayat ini, sekali lagi menekankan bahwa Allah SWT. Tidak membinasakan suatu negeri karena penduduknya kafir, bahkan Dia melanggengknnya dalam keadaan kafir selama mereka menetapkan dan melaksanakan dengan baik peraturan-peraturan menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota masyarakatnya walaupun untuk itu mereka harus membayar  mahal berupa kesengsaraan dan kepedihan batin. Itulah, menurut asy-Sya’rawi, yang dimaksud dengan wa ahlushlihun/dan penduduknya adalah muslihun.








Daftar Pustaka
Ahmad Mustafa Al-Maragi, terjemah Bahrun Abubakar, L.C.Tafsir Al-Maragi, IX,
            (Semarang:Toha Putra,1985)
Ahmad Mustafa Al-Maragi, terjemah Bahrun Abubakar, L.C.Tafsir Al-Maragi, XII,
            (Semarang:Toha Putra,1985) 
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, terjemah Bahrun Abu Bakar, L.C,
            Tafsir Ibnu Katsir, 9, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2004)
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, terjemah Bahrun Abu Bakar, L.C,
            Tafsir Ibnu Katsir,12, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2004)
Asy-Syahid Sayyid Quthb, terjemah As’ad Yasin, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 4
            (Depok:Gema Insani,2001)
Asy-Syahid Sayyid Quthb, terjemah As’ad Yasin, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 6
            (Depok:Gema Insani,2001)
Hamka,Tafsir Al-Azhar, IX,(Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982)
Hamka,Tafsir Al-Azhar, XII,(Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982)
M, Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah, jilid 4,(Jakarta:Lentera Hati, 2003)
M, Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah, jilid 6,(Jakarta:Lentera Hati, 2003)

No comments:

Post a Comment