Monday, July 2, 2012

antropolgi(sistem religi)

“SISTEM RELIGI”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Antropologi



DISUSUN OLEH :


Pembimbing:
Mochamad Ismail, S.Sos. M.Si

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BKI/C1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012

KATA PENGANTAR
Alkhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memudahkan segala urusan kami sehingga selesai jualah makalah kami yang berjudul “Sistem Religi”.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, beserta sahabat, keluarga, dan pengikut akhir zaman.
Makalah ini diajukan sebagai tugas kelompok mata kuliah Antropologi.
Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami menerima kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini di masa mendatang.
            Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Mochamad Ismail, S.Sos. M.Si, selaku pembimbing kami dalam mata kuliah ini, serta teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai dalam waktu yang telah ditentukan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.

Surabaya, 07 April 2012

                                    Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:
1.      Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir.
2.      bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diprlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal-mula religi.
            Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-uapacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agam Nashrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehanya itu menarik perhatian.
            Masalah asal-mula dari suatu unsur universal seperti religi, lahirnya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal-mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.
            Dalam memecahkan soal asal-mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat kepada apa yang dianggapnya sisa-sisa dari bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnorgafi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha penyusun teori-teori tentang asal-mula agama.
            Sebagai seorang manusia kita harus mempunyai pegangan yang kuat, yang mana bisa mengantarkan kita pada satu tujuan. Yang akan membawa kita kejalan lurus, yakni sebuah agamalah yang kita jadikan pedoman untuk melaksanakan sesuatu. Dengan dasar -dasar dan ketentuan dalam sebuah pelaturan. Jadi agama sangatlah penting bagi kita.
            Berdasarkan keterangan ini agama sagat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, dan kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun dan diwariskan oleh suatu generasi kegenerasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
            Dalam makalah ini akan dibahas mengenai system religi, yang meliputi pengertian religi dan unsur-unsur religi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari system religi?
2.      Apa saja unsur-unsur dalam religi?

C.     Tujuan Makalah
1.      Agar kita dapat mengetahui definisi religi.
2.      Agar kita dapat mengetahui unsur-unsur religi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Religi atau Agama

            Adapun kata religi berasal dari bahasa latin. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution Mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi pada tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus di baca. Menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula dari ikatan roh manusia dengan tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan tuhan.
            Kata religi-religion dan religio, secara etimologi menurut  Winkler Prins dalam Algemene Encyclopaedie berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang  ber-religi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.[1]
            Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut,  serta suatu  tata  kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
            Berdasarkan sudut pandang " agama" dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya "tidak kacau". Agam diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang bearti "tidak " dan gama yang bearti "kacau" . hal itu mengandung pengerian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.[2]
            Dalam bahasa arab, agama dikenal dengan kata Al-din dan Al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia dapat diartikan al-hud mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah(pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al- sulthan (kekuasaan dan pemerintahan). Sedangkan pengertian al-din yang bearti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya tidak ditujukan pada salah satu agama, ia adalah nama untuk setiap kepercayaan di dunia ini.
            Adapun Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejalah social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada didunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan social dan bagian dari system social suatu masyarakat. Agama juga bias dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakt disamping unsur-unsur yang lain, seperti keseniaan, bahasa, system mata pencaharian, sistem peralatan, dan system organisai social.

B.     Unsur-Unsur Religi atau Agama
           
            Dalam rangka pokok antropologi tentang religi, Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi.[3] Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.
            Mengenai masalah apakah emosi itu, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam makalah ini. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
            Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya.     Dengan demikian emosi keagmaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga usnur lain, yaitu:
1.      sistem keyakina;
2.      sistem upacar keagamaan;
3.      suatu umat yang menganut religi itu.
            Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat, sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa, konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati’ konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.
            Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.
            Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah:[4]
1.      tempat upacara keagamaan dilakukan;
2.      saat-saat upacara keagmaan dijalankan;
3.      benda-benda dan alat-alat upacara;
4.      orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
            Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambngkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.
            Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:[5]
1.      bersaji,
2.      berkorban;
3.      berdo’a;
4.      makan ebrsama makanann yang telah disucikan dengan do’a;
5.      menari tarian suci;
6.      menyanyi nyanyian suci;
7.      berpropesi atau berpawai;
8.      memainkan seni darama suci;
9.      berpuasa;
10.  intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius unutk mencapai keadaan trance, mabuk;
11.  bertapa;
12.  bersemedi.
            Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a.
            Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun adalam kehidupan sehai-hari; dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
            Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapatjuga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu unutk mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
            Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali kepada kekuatan tinggi yang disembanhnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikaplain samasekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya.
            Berdasarkan ulasan di atas akan tampak adanya empat unsur pokok dari religi pada umumnya, ialah:[6]
1.      emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan.
2.      Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam ghaib, hidup, maut, dan lain-lain.
3.      Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan atas system kepercayaan.
4.      Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan social yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta system upacara-upacara keagamaannya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Agama merupakan sesuatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Dan unsur pokok religi pada umumnya meliputi; emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan, sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam ghaib, hidup, maut, dan lain-lain, sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan atas system kepercayaan, kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan social yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta system upacara-upacara keagamaannya.





[1] Nata. Abuddin, Metodologi Studi Islam(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), h. 231
[2] Harsojo, Pengantar Antropologi(Bandung: Putra A Bardin, 1999), h. 221
[3] Koentjayadiningrat, Pengantar Antropologi(Jakarta: Aksara Baru, 1980), h. 391
[4] Ibid, Pengantar Antropologi, h. 392
[5] Ibid, Pengantar Antropologi, h.393
[6] Koentjayadiningrat, Antropologi Sosial(Yogyakarta: PT. Dian Rakyat, 1985), h. 230
 
DAFTAR PUSTAKA

Harsojo. 1999.Pengantar Antropologi. Bandung: Putra A Bardin.
Koentjayadiningrat.1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjayadiningrat. 1985. Antropologi Sosial. Yogyakarta: PT. Dian Rakyat.
Abuddin, Nata. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment